Rabu, 17 Desember 2014

Relief Candi Penataran (Penataran)

Relief Candi Panataran, Foto Tempo Dulu yang diambil pada February - June Tahun 1867




   

 
 














































 
 
 
 

 
 





Sejarah Candi Penataran

Candi Penataran terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, kabupaten Blitar, Jawa Timur, Indonesia. Lokasinya yang terletak di kaki gunung Kelud, menjadikan area Candi Penataran berhawa sejuk. Candi Penataran adalah kompleks percandian terbesar dan paling terawat di provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Candi Penataran merupakan candi yang kaya dengan berbagai macam corak relief, arca, dan struktur bangunan yang bergaya Hindu. Adanya pahatan Kala (raksasa menyeringai), arca Ganesya (dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu), arca Dwarapala (patung raksasa penjaga pintu gerbang), dan juga relief Ramayana adalah bukti tidak terbantahkan bahwa Candi Penataran adalah candi Hindu.
Prasasti Palah yang terdapat di area Candi Penataran mengabarkan bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun 1194, pada masa pemerintahan raja Syrenggra yang memerintah kerajaan Kadiri, dan selesai pada masa kerajaan Majapahit. Dengan demikian candi ini melewati masa tiga kerajaan besar Nusantara yaitu Kadiri, Singasari, dan Majapahit. Candi Penataran memegang peranan cukup penting bagi kerajaan-kerajaan tersebut, yaitu sebagai tempat pengangkatan para raja dan tempat untuk upacara pemujaan terhadap Sang Pencipta.
Berbagai kajian oleh para sejarawan terhadap teks-teks kuno, kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, misalnya, dijelaskan bahwa Candi Penataran sangat dihormati oleh para raja dan petinggi kerajaan besar di JawaTimur. Candi Penataran pernah menyimpan abu dari raja Rajasa (Ken Arok) pendiri kerajaan Singasari, dan juga abu dari raja Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) pendiri kerajaan Majapahit. Bahkan konon, menurut legenda rakyat setempat, sumpah sakral Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan seluruh Nusantara dalam kekuasaan Majapahit, yang dikenal dengan nama “Sumpah Palapa”, diucapkan di Candi Penataran.
Lokasi : Ds Penataran, Kec Nglegok, Kab Blitar, Prop Jawa Timur, Indonesia
Koordinat GPS : 8° 00’59.06″ S 112° 12’34.90″ E


Misteri Candi Penataran

Apakah pernah terlintas dalam pikiran kita, bahwa Nusantara (baca : Indonesia) di masa lampau pernah menjadi negeri dengan peradaban yang unggul di dunia pada waktu itu? Ketika Eropa masih berada di abad kegelapan, ternyata leluhur Nusantara telah berhasil membangun sebuah mahakarya seperti yang bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran. Sebuah karya agung yang sangat rumit dipandang dari keindahan seninya, maupun tingkat kesulitan pembuatannya. Siapa yang bisa menunjukkan ada bangunan di peradaban lain yang lebih indah dengan detail yang rumit di abad itu? Apalagi Nusantara adalah wilayah tersubur di bumi karena ada banyak gunung berapi. Sistem pertanian yang canggih telah ada pada saat itu. Belum lagi ditinjau dari kekayaan hasil tambangnya. Karya agung semacam itu hanya dapat dihasilkan oleh bangsa dengan kebudayaan tinggi. Bangsa dengan kebudayaan tinggi sangat mungkin memiliki kekuatan militer yang unggul.
Mari kita perhatikan relief yang terdapat di Candi Penataran ini. Ada sebuah pertempuran antara pasukan yang bisa dianggap berasal dari bangsa Nusantara, dan yang satu lagi adalah pasukan yang berdandan mirip dengan bangsa Amerika, seperti halnya suku-suku Aztec dan Maya.
Tidak percaya? Baiklah. Sekarang coba kita perbandingkan busana pasukan yang mirip orang Amerika tersebut dengan gaya berbusana orang-orang suku Aztec dan Maya yang berasal dari benua Amerika.
Apakah kemiripan itu hanyalah kebetulan? Baiklah. Mari kita tengok detail dari relief ini. Silakan perhatikan baik-baik pahatan yang dilingkar merah.
Menyerupai apakah pahatan tersebut? Ya. Menyerupai tanaman kaktus. Bandingkan dengan foto tanaman kaktus di sebelahnya. Mirip bukan? Masalahnya, berasal dari manakah tanaman kaktus? Apakah di wilayah Nusantara pada waktu itu telah ada tanaman kaktus? Jawabannya tidak! Tanaman kaktus hanya ada di benua Amerika!
Masih berkilah bahwa itu hanyalah kebetulan yang dimirip-miripkan? Mari kita lihat kembali foto-foto di bawah!
Lihat foto relief wajah dengan lidah menjulur yang ada relief Candi Penataran! Bandingkan dengan arca kepala dengan lidah menjulur yang ada di  Tlaltechutli, Mexico City! Adakah kemiripan di sana? Bandingkan juga dengan topeng Rangda ala Bali.
Masih kurang yakin? Nah, foto-foto di bawah ini bisa membungkam ketidakyakinan orang-orang skeptis. Perhatikan kedua foto di bawah ini.
Foto di sebelah kiri adalah arca Dwarapala (raksasa penjaga pintu gerbang) yang berada di Candi Penataran. Akan tetapi terletak di manakah “arca Dwarapala” pada foto sebelah kanan? Jawabannya terletak di kompleks kuil Chichen Itza peninggalan suku Maya, yang saat ini terletak di semenanjung Yucatan, Amerika Tengah. Bukankah foto ini menunjukkan kemiripan yang luar biasa?
Bukti berikutnya ada di foto-foto berikut.
Foto pertama adalah “piramida” yang terdapat di Candi Sukuh yang terletak di desa Karanganyar, kabupaten Surakarta, Jawa Tengah. Foto disampingnya adalah piramida suku Aztec yang terdapat di Tenochtitlan, Mexico. Ini menunjukkan adanya koneksi yang luar biasa antar kedua peradaban tersebut.
Selain itu masih banyak relief lain di Candi Penataran yang menggambarkan orang-orang yang “diduga” berasal dari peradaban bangsa lain.
Kesimpulannya, apakah benar bahwa leluhur Nusantara pernah terhubung dengan bangsa-bangsa dunia? Kemudian apakah leluhur Nusantara yang berhasil menapakkan kaki di benua Amerika, atau bangsa Amerika yang pernah mengunjungi Nusantara? Faktanya adalah tidak pernah ada catatan sejarah yang menjelaskan bahwa bangsa Amerika memiliki tradisi maritim yang hebat. Sebaliknya, leluhur Nusantara adalah pelaut-pelaut ulung. Sebagaimana dapat didengar pada lagu tradisional Nusantara, “Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera ..”




KISAH DI RELIEF CANDI PENATARAN :

Anoman Obong

Relief Anoman Obong bisa ditemui pada dinding Candi Induk Penataran tingkat I. Anoman Obong adalah salah satu episode pada epik Ramayana, yang menceritakan tentang aksi Anoman, si kera putih yang sakti, dalam usahanya membebaskan Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana.

Rahwana atau Dasamuka, seorang raja dari Alengka, menculik Dewi Shinta yang cantik jelita dari tangan Sri Rama. Untuk mendapatkan kembali istrinya yang diculik oleh Rahwana, Sri Rama menugaskan panglima terbaiknya, yaitu Anoman, untuk menyeberang ke negeri Alengka dan mencari tahu tentang keberadaan istrinya tersebut.

Setibanya di Alengka, Anoman menemui Dewi Shinta di Taman Argasoka, dan menyerahkan cincin pemberian Sri Rama. Dewi Shinta sendiri menitipkan tusuk kondenya dengan disertai pesan bahwa ia masih tetap setia. Meskipun telah mendapatkan informasi keberadaan Dewi Shinta, tampaknya Anoman sedang ingin bersenang-senang.
Di Taman Argasoka, Anoman berbuat kekacauan sehingga ia harus menghadapi serbuan para prajurit keraton Alengka. Kesaktian Anoman tidak dapat ditandingi oleh para prajurit Alengka. Rahwana sangat marah melihat itu semua dan memerintahkan anaknya yang sakti mandraguna, Indrajit Megananda, untuk turun menghadapi Anoman. Dengan senjata pamungkasnya yaitu Panah Nagarante, Indrajit berhasil melumpuhkan Anoman untuk sementara. Rahwana segera memerintahkan para prajurit untuk membakar hidup-hidup Anoman yang sudah dirantai itu. Namun Anoman dengan kesaktian dan kelihaiannya berhasil melepaskan diri dan justru menjadikan api tersebut untuk membakar keraton Alengka.

Kresnayana

Relief Kresnayana bisa ditemui pada dinding Candi Induk Penataran tingkat II. Kisah ini adalah hasil karya Empu Triguna yang hidup pada masa pemerintahan Raja Warsajaya dari kerajaan Kediri. Kresnayana berarti “Perjalanan Kresna”, menceritakan tentang kisah percintaan antara Kresna dan Dewi Rukmini.
Tersebutlah Dewi Rukmini, seorang cantik jelita putri Raja Bismaka dari Kerajaan Kundina, yang telah dijodohkan dengan Raja Suniti dari Kerajaan Cedi. Namun perjodohan tersebut tidak sesuai dengan keinginan hati Rukmini karena ia sudah terlanjur menjalin hubungan percintaan dengan Kresna, seorang pemuda yang gagah, cerdas, dan sakti.
Menjelang pesta pernikahan antara Dewi Rukmini dan Raja Suniti, Kresna nekad menculik sang pujaan hati untuk dibawa ke negerinya. Tentu saja Raja Bismaka dan Raja Suniti marah besar mengetahui bahwa Rukmini melarikan diri bersama Kresna. Mereka segera mengerahkan pasukan dalam jumlah besar untuk mengejar Kresna, dengan dimpimpin oleh Rukma, saudara laki-laki Rukmini.
Kresna terlalu tangguh dan pintar untuk dihentikan oleh pasukan yang mengejarnya itu. Oleh karena kesaktiannya, Kresna berhasil menghancurkan seluruh pasukan dan menyisakan Rukma saja, karena Rukmini telah memohon untuk tidak membunuh Rukma.
Pada akhirnya, Kresna mempersunting Rukmini dan hidup bahagia di Negeri Dwarawati, sebagai pasangan raja dan permaisuri. Melalui epiknya ini, Empu Triguna berusaha memberikan pembelajaran bahwa pernikahan yang didasarkan pada keterpaksaan itu adalah sia-sia belaka.

Raden Inu Kertapati

Cerita tentang Raden Inu Kertapati merupakan sebuah cerita yang berasal dari Jawa yang mula timbulnya pada masa keemasan Kerajaan Majapahit. Bercerita tentang kepahlawanan dan cinta, dengan dua tokoh utamanya yaitu Raden Inu Kertapati atau Panji Asmara Bangun (Pangeran dari Kerajaan Daha) dan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana (putri Kerajaan Jenggala).
Cerita ini mempunyai banyak versi dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali, Kalimantan) dan juga di negara-negara lain di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, Filipina).
Beberapa cerita rakyat seperti ’Keong Mas’, ’Ande-ande Lumut’ dan ’Golek Kencana’ merupakan turunan dari cerita ini dimana masing-masing memiliki pesan moral yang sama bahwa untuk menuju kebahagiaan kadang diperlukan pengorbanan dan bila kita tabah serta sabar pasti segala rintangan bisa diatasi.
Dalam lakon ’Keong Mas’ dikisahkan, seorang raja dari Negeri Antah Berantah berminat menyunting Putri Galuh Candra Kirana secara paksa. Tetapi karena Sang Putri menolak pinangan itu, ia melarikan diri seraya meninggalkan pasangan sejolinya Raden Panji Inu Kertapati dan menyamar dengan nama Dewi Sekartaji.
Cerita menyedihkan Dewi Sekartaji pun tak luput dari pengamatan para penguasa kahayangan, sehingga Barata Narada menurunkan kesaktiannya dan membantu menyelamatkan Dewi Sekartaji dengan mengubahnya menjadi seekor Keong Emas. Dalam pengembaraannya Keong Emas ditemukan dan dipelihara oleh Mbok Rondo Dadapan, hingga suatu hari berubah wujud kembali menjadi Putri Galuh Candra Kirana yang cantik rupawan.
Berita tentang keberadaan seorang putri yang cantik rupawan di Desa Dadapan itu akhirnya sampai juga ke telinga Panji Asmara Bangun yang sudah bertahun-tahun berusaha menemukan kembali cinta sejatinya. Singkat cerita, keduanya bertemu kembali dan hidup bahagia di Kerajaan Daha.

Bubhuksah dan Gagang Aking

Tersebutlah kakak beradik bernama Bubhuksah dan Gagang Aking yang menjalani hidup menjadi pertapa. Bubhuksah digambarkan bertubuh gemuk, karena dalam pertapaannya ia memakan apa saja termasuk daging hewan. Sementara Gagang Aking bertubuh kurus kering karena menjalani pertapaannya dengan penuh penderitaan dan hanya mau memakan daun-daunan.
Suatu ketika Bathara Guru dari Kahyangan ingin menguji kedua bersaudara itu, dan ia mengirimkan Kalawijaya untuk turun ke bumi dengan menjelma menjadi harimau putih. Sang harimau pertama kali mendatangi Gagang Aking dan berkata bahwa ia sangat lapar karena sudah berhari-hari tidak makan. Gagang Aking menolak menyerahkan dirinya sebagai santapan sang harimau, dengan alasan tubuhnya kurus sehingga tidak akan bisa mengenyangkan perut sang harimau. Kemudian sang harimau mendatangi Bubhuksah dan mengatakan hal yang sama. Tidak disangka-sangka, Bubhuksah mempersilakan dirinya untuk dimakan oleh sang harimau, karena ia merasa iba melihat harimau yang kelaparan itu.
Kedua bersaudara itu dianggap lulus ujian, dan Bathara Guru mengangkatnya ke surga. Bubhuksah diberi kehormatan untuk menaiki punggung sang harimau putih dan masuk ke surga tertinggi, oleh karena keikhlasannya berkorban demi sesama makhluk hidup. Sementara Gagang Aking hanya boleh berpegang pada ekor sang harimau putih, dan dimasukkan ke surga yang lebih rendah.
Kisah ini memberikan sebuah pelajaran bahwa keutamaan dalam beribadah terletak pada keikhlasan, dan bukan pada tata cara ibadah itu sendiri.

Sri Tanjung

Relief kisah Sri Tanjung bisa ditemui pada dinding teras pendopo. Tersebutlah seorang ksatria bernama Sidapaksa yang memiliki istri setia yang cantik jelita bernama Sri Tanjung. Sidapaksa mengabdi kepada Raja Sulakrama di Negeri Sindureja. Diam-diam sang raja menaruh hati kepada Sri Tanjung yang cantik itu. Oleh karenanya ia menyusun siasat untuk memisahkan Sri Tanjung dari suaminya demi memiliki sang pujaan hati. Ia mengirim Sidapaksa untuk menemui para dewa di Swargaloka, dengan membawa surat yang bertuliskan “Pembawa surat ini akan menyerang Swargaloka.” Akibatnya Sidapaksa babak belur dipukuli oleh para dewa. Beruntung, pada akhirnya para dewa mengetahui bahwa Sidapaksa adalah keturunan Pandawa, sehingga ia diampuni.
Ketika Sidapaksa kembali ke kerajaan, ia mendapati bahwa istrinya sedang berpelukan dengan Raja Sulakrama. Dengan liciknya, Raja Sulakrama malah balik menuduh bahwa Sri Tanjunglah yang telah menggodanya untuk berbuat zina. Karena tidak bisa meredam amarah, Sidapaksa menikam istrinya dengan keris hingga tewas. Namun keanehan terjadi, di mana dari luka tusukan tersebut tidak mengalir darah segar, melainkan air yang berbau sangat harum. Sidapaksa menjadi tersadar bahwa itu adalah suatu pertanda bahwa istrinya tidak bersalah. Dengan penuh penyesalan, Sidapaksa menangisi dan menciumi jasad istrinya itu.
Melihat kejadian mengharukan itu Dewi Durga dari kahyangan merasa iba kepada pasangan sejoli itu dan memutuskan untuk menghidupkan kembali Sri Tanjung. Sidapaksa sangat berbahagia melihat istrinya hidup kembali, dan sesudah itu memutuskan untuk menghukum Raja Sulakrama atas kejahatannya itu. Dalam duel antara dua ksatria itu, Sidapaksa berhasil menewaskan Raja Sulakrama. Pada akhirnya Sidapaksa dan Sri Tanjung hidup bahagia.
Kisah ini menjadi legenda terbentuknya sebuah kota di negeri Blambangan, yaitu Banyuwangi yang artinya “air yang wangi”.



Source 

1 komentar:

  1. Selamat malam, mohon maaf saya dari Historia.id mau minta izin salah satu foto dalam postingan ini, apakah boleh kami jadikan foto dalam artikel yang kami publish? terimakasih sebelumnya.

    BalasHapus