Sejarah Candi Penataran
Candi
Penataran terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, kabupaten
Blitar, Jawa Timur, Indonesia. Lokasinya yang terletak di kaki gunung
Kelud, menjadikan area Candi Penataran berhawa sejuk. Candi Penataran
adalah kompleks percandian terbesar dan paling terawat di provinsi Jawa
Timur, Indonesia.
Candi Penataran merupakan candi yang
kaya dengan berbagai macam corak relief, arca, dan struktur bangunan
yang bergaya Hindu. Adanya pahatan Kala (raksasa menyeringai), arca
Ganesya (dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu), arca Dwarapala
(patung raksasa penjaga pintu gerbang), dan juga relief Ramayana adalah
bukti tidak terbantahkan bahwa Candi Penataran adalah candi Hindu.
Prasasti Palah yang terdapat di area
Candi Penataran mengabarkan bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun
1194, pada masa pemerintahan raja Syrenggra yang memerintah kerajaan
Kadiri, dan selesai pada masa kerajaan Majapahit. Dengan demikian candi
ini melewati masa tiga kerajaan besar Nusantara yaitu Kadiri, Singasari,
dan Majapahit. Candi Penataran memegang peranan cukup penting bagi
kerajaan-kerajaan tersebut, yaitu sebagai tempat pengangkatan para raja
dan tempat untuk upacara pemujaan terhadap Sang Pencipta.
Berbagai kajian oleh para sejarawan
terhadap teks-teks kuno, kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu
Prapanca, misalnya, dijelaskan bahwa Candi Penataran sangat dihormati
oleh para raja dan petinggi kerajaan besar di JawaTimur. Candi Penataran
pernah menyimpan abu dari raja Rajasa (Ken Arok) pendiri kerajaan
Singasari, dan juga abu dari raja Kertarajasa Jayawardhana (Raden
Wijaya) pendiri kerajaan Majapahit. Bahkan konon, menurut legenda rakyat
setempat, sumpah sakral Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan seluruh
Nusantara dalam kekuasaan Majapahit, yang dikenal dengan nama “Sumpah
Palapa”, diucapkan di Candi Penataran.
Lokasi : Ds Penataran, Kec Nglegok, Kab Blitar, Prop Jawa Timur, IndonesiaKoordinat GPS : 8° 00’59.06″ S 112° 12’34.90″ E
Misteri Candi Penataran
Apakah
pernah terlintas dalam pikiran kita, bahwa Nusantara (baca : Indonesia)
di masa lampau pernah menjadi negeri dengan peradaban yang unggul di
dunia pada waktu itu? Ketika Eropa masih berada di abad kegelapan,
ternyata leluhur Nusantara telah berhasil membangun sebuah mahakarya
seperti yang bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan
Candi Penataran. Sebuah karya agung yang sangat rumit dipandang dari
keindahan seninya, maupun tingkat kesulitan pembuatannya. Siapa yang
bisa menunjukkan ada bangunan di peradaban lain yang lebih indah dengan
detail yang rumit di abad itu? Apalagi Nusantara adalah wilayah tersubur
di bumi karena ada banyak gunung berapi. Sistem pertanian yang canggih
telah ada pada saat itu. Belum lagi ditinjau dari kekayaan hasil
tambangnya. Karya agung semacam itu hanya dapat dihasilkan oleh bangsa
dengan kebudayaan tinggi. Bangsa dengan kebudayaan tinggi sangat mungkin
memiliki kekuatan militer yang unggul.
Mari kita perhatikan relief yang
terdapat di Candi Penataran ini. Ada sebuah pertempuran antara pasukan
yang bisa dianggap berasal dari bangsa Nusantara, dan yang satu lagi
adalah pasukan yang berdandan mirip dengan bangsa Amerika, seperti
halnya suku-suku Aztec dan Maya.
Tidak percaya? Baiklah. Sekarang coba
kita perbandingkan busana pasukan yang mirip orang Amerika tersebut
dengan gaya berbusana orang-orang suku Aztec dan Maya yang berasal dari
benua Amerika.
Apakah kemiripan itu hanyalah kebetulan?
Baiklah. Mari kita tengok detail dari relief ini. Silakan perhatikan
baik-baik pahatan yang dilingkar merah.
Menyerupai apakah pahatan tersebut? Ya.
Menyerupai tanaman kaktus. Bandingkan dengan foto tanaman kaktus di
sebelahnya. Mirip bukan? Masalahnya, berasal dari manakah tanaman
kaktus? Apakah di wilayah Nusantara pada waktu itu telah ada tanaman
kaktus? Jawabannya tidak! Tanaman kaktus hanya ada di benua Amerika!
Masih berkilah bahwa itu hanyalah kebetulan yang dimirip-miripkan? Mari kita lihat kembali foto-foto di bawah!
Lihat foto relief wajah dengan lidah
menjulur yang ada relief Candi Penataran! Bandingkan dengan arca kepala
dengan lidah menjulur yang ada di Tlaltechutli, Mexico City! Adakah
kemiripan di sana? Bandingkan juga dengan topeng Rangda ala Bali.
Masih kurang yakin? Nah, foto-foto di
bawah ini bisa membungkam ketidakyakinan orang-orang skeptis. Perhatikan
kedua foto di bawah ini.
Foto di sebelah kiri adalah arca
Dwarapala (raksasa penjaga pintu gerbang) yang berada di Candi
Penataran. Akan tetapi terletak di manakah “arca Dwarapala” pada foto
sebelah kanan? Jawabannya terletak di kompleks kuil Chichen Itza
peninggalan suku Maya, yang saat ini terletak di semenanjung Yucatan,
Amerika Tengah. Bukankah foto ini menunjukkan kemiripan yang luar biasa?
Bukti berikutnya ada di foto-foto berikut.
Foto pertama adalah “piramida” yang
terdapat di Candi Sukuh yang terletak di desa Karanganyar, kabupaten
Surakarta, Jawa Tengah. Foto disampingnya adalah piramida suku Aztec
yang terdapat di Tenochtitlan, Mexico. Ini menunjukkan adanya koneksi
yang luar biasa antar kedua peradaban tersebut.
Selain itu masih banyak relief lain di
Candi Penataran yang menggambarkan orang-orang yang “diduga” berasal
dari peradaban bangsa lain.
Kesimpulannya, apakah benar bahwa
leluhur Nusantara pernah terhubung dengan bangsa-bangsa dunia? Kemudian
apakah leluhur Nusantara yang berhasil menapakkan kaki di benua Amerika,
atau bangsa Amerika yang pernah mengunjungi Nusantara? Faktanya adalah
tidak pernah ada catatan sejarah yang menjelaskan bahwa bangsa Amerika
memiliki tradisi maritim yang hebat. Sebaliknya, leluhur Nusantara
adalah pelaut-pelaut ulung. Sebagaimana dapat didengar pada lagu
tradisional Nusantara, “Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera ..”
KISAH DI RELIEF CANDI PENATARAN :
Anoman Obong
Relief Anoman Obong bisa ditemui pada dinding Candi Induk Penataran
tingkat I. Anoman Obong adalah salah satu episode pada epik Ramayana,
yang menceritakan tentang aksi Anoman, si kera putih yang sakti, dalam
usahanya membebaskan Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana.
Rahwana atau Dasamuka, seorang raja dari Alengka, menculik Dewi Shinta yang cantik jelita dari tangan Sri Rama. Untuk mendapatkan kembali istrinya yang diculik oleh Rahwana, Sri Rama menugaskan panglima terbaiknya, yaitu Anoman, untuk menyeberang ke negeri Alengka dan mencari tahu tentang keberadaan istrinya tersebut.
Setibanya di Alengka, Anoman menemui Dewi Shinta di Taman Argasoka, dan menyerahkan cincin pemberian Sri Rama. Dewi Shinta sendiri menitipkan tusuk kondenya dengan disertai pesan bahwa ia masih tetap setia. Meskipun telah mendapatkan informasi keberadaan Dewi Shinta, tampaknya Anoman sedang ingin bersenang-senang.
Di Taman Argasoka, Anoman berbuat kekacauan sehingga ia harus menghadapi serbuan para prajurit keraton Alengka. Kesaktian Anoman tidak dapat ditandingi oleh para prajurit Alengka. Rahwana sangat marah melihat itu semua dan memerintahkan anaknya yang sakti mandraguna, Indrajit Megananda, untuk turun menghadapi Anoman. Dengan senjata pamungkasnya yaitu Panah Nagarante, Indrajit berhasil melumpuhkan Anoman untuk sementara. Rahwana segera memerintahkan para prajurit untuk membakar hidup-hidup Anoman yang sudah dirantai itu. Namun Anoman dengan kesaktian dan kelihaiannya berhasil melepaskan diri dan justru menjadikan api tersebut untuk membakar keraton Alengka.
Rahwana atau Dasamuka, seorang raja dari Alengka, menculik Dewi Shinta yang cantik jelita dari tangan Sri Rama. Untuk mendapatkan kembali istrinya yang diculik oleh Rahwana, Sri Rama menugaskan panglima terbaiknya, yaitu Anoman, untuk menyeberang ke negeri Alengka dan mencari tahu tentang keberadaan istrinya tersebut.
Setibanya di Alengka, Anoman menemui Dewi Shinta di Taman Argasoka, dan menyerahkan cincin pemberian Sri Rama. Dewi Shinta sendiri menitipkan tusuk kondenya dengan disertai pesan bahwa ia masih tetap setia. Meskipun telah mendapatkan informasi keberadaan Dewi Shinta, tampaknya Anoman sedang ingin bersenang-senang.
Di Taman Argasoka, Anoman berbuat kekacauan sehingga ia harus menghadapi serbuan para prajurit keraton Alengka. Kesaktian Anoman tidak dapat ditandingi oleh para prajurit Alengka. Rahwana sangat marah melihat itu semua dan memerintahkan anaknya yang sakti mandraguna, Indrajit Megananda, untuk turun menghadapi Anoman. Dengan senjata pamungkasnya yaitu Panah Nagarante, Indrajit berhasil melumpuhkan Anoman untuk sementara. Rahwana segera memerintahkan para prajurit untuk membakar hidup-hidup Anoman yang sudah dirantai itu. Namun Anoman dengan kesaktian dan kelihaiannya berhasil melepaskan diri dan justru menjadikan api tersebut untuk membakar keraton Alengka.
Kresnayana
Relief Kresnayana bisa ditemui pada
dinding Candi Induk Penataran tingkat II. Kisah ini adalah hasil karya
Empu Triguna yang hidup pada masa pemerintahan Raja Warsajaya dari
kerajaan Kediri. Kresnayana berarti “Perjalanan Kresna”, menceritakan
tentang kisah percintaan antara Kresna dan Dewi Rukmini.
Tersebutlah Dewi Rukmini, seorang cantik jelita putri Raja Bismaka
dari Kerajaan Kundina, yang telah dijodohkan dengan Raja Suniti dari
Kerajaan Cedi. Namun perjodohan tersebut tidak sesuai dengan keinginan
hati Rukmini karena ia sudah terlanjur menjalin hubungan percintaan
dengan Kresna, seorang pemuda yang gagah, cerdas, dan sakti.
Menjelang pesta pernikahan antara Dewi Rukmini dan Raja Suniti,
Kresna nekad menculik sang pujaan hati untuk dibawa ke negerinya. Tentu
saja Raja Bismaka dan Raja Suniti marah besar mengetahui bahwa Rukmini
melarikan diri bersama Kresna. Mereka segera mengerahkan pasukan dalam
jumlah besar untuk mengejar Kresna, dengan dimpimpin oleh Rukma, saudara
laki-laki Rukmini.
Kresna terlalu tangguh dan pintar untuk dihentikan oleh pasukan yang
mengejarnya itu. Oleh karena kesaktiannya, Kresna berhasil menghancurkan
seluruh pasukan dan menyisakan Rukma saja, karena Rukmini telah memohon
untuk tidak membunuh Rukma.
Pada akhirnya, Kresna mempersunting Rukmini dan hidup bahagia di
Negeri Dwarawati, sebagai pasangan raja dan permaisuri. Melalui epiknya
ini, Empu Triguna berusaha memberikan pembelajaran bahwa pernikahan yang
didasarkan pada keterpaksaan itu adalah sia-sia belaka.
Raden Inu Kertapati
Cerita tentang Raden Inu Kertapati
merupakan sebuah cerita yang berasal dari Jawa yang mula timbulnya pada
masa keemasan Kerajaan Majapahit. Bercerita tentang kepahlawanan dan
cinta, dengan dua tokoh utamanya yaitu Raden Inu Kertapati atau Panji
Asmara Bangun (Pangeran dari Kerajaan Daha) dan Dewi Sekartaji atau
Galuh Candra Kirana (putri Kerajaan Jenggala).
Cerita ini mempunyai banyak versi dan telah menyebar di beberapa
tempat di Nusantara (Jawa, Bali, Kalimantan) dan juga di negara-negara
lain di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, Filipina).
Beberapa cerita rakyat seperti ’Keong Mas’, ’Ande-ande Lumut’ dan
’Golek Kencana’ merupakan turunan dari cerita ini dimana masing-masing
memiliki pesan moral yang sama bahwa untuk menuju kebahagiaan kadang
diperlukan pengorbanan dan bila kita tabah serta sabar pasti segala
rintangan bisa diatasi.
Dalam lakon ’Keong Mas’ dikisahkan, seorang raja dari Negeri Antah
Berantah berminat menyunting Putri Galuh Candra Kirana secara paksa.
Tetapi karena Sang Putri menolak pinangan itu, ia melarikan diri seraya
meninggalkan pasangan sejolinya Raden Panji Inu Kertapati dan menyamar
dengan nama Dewi Sekartaji.
Cerita menyedihkan Dewi Sekartaji pun tak luput dari pengamatan para
penguasa kahayangan, sehingga Barata Narada menurunkan kesaktiannya dan
membantu menyelamatkan Dewi Sekartaji dengan mengubahnya menjadi seekor
Keong Emas. Dalam pengembaraannya Keong Emas ditemukan dan dipelihara
oleh Mbok Rondo Dadapan, hingga suatu hari berubah wujud kembali menjadi
Putri Galuh Candra Kirana yang cantik rupawan.
Berita tentang keberadaan seorang putri yang cantik rupawan di Desa
Dadapan itu akhirnya sampai juga ke telinga Panji Asmara Bangun yang
sudah bertahun-tahun berusaha menemukan kembali cinta sejatinya. Singkat
cerita, keduanya bertemu kembali dan hidup bahagia di Kerajaan Daha.
Bubhuksah dan Gagang Aking
Tersebutlah kakak beradik bernama Bubhuksah dan Gagang Aking yang
menjalani hidup menjadi pertapa. Bubhuksah digambarkan bertubuh gemuk,
karena dalam pertapaannya ia memakan apa saja termasuk daging hewan.
Sementara Gagang Aking bertubuh kurus kering karena menjalani
pertapaannya dengan penuh penderitaan dan hanya mau memakan daun-daunan.
Suatu ketika Bathara Guru dari Kahyangan ingin menguji kedua
bersaudara itu, dan ia mengirimkan Kalawijaya untuk turun ke bumi dengan
menjelma menjadi harimau putih. Sang harimau pertama kali mendatangi
Gagang Aking dan berkata bahwa ia sangat lapar karena sudah berhari-hari
tidak makan. Gagang Aking menolak menyerahkan dirinya sebagai santapan
sang harimau, dengan alasan tubuhnya kurus sehingga tidak akan bisa
mengenyangkan perut sang harimau. Kemudian sang harimau mendatangi
Bubhuksah dan mengatakan hal yang sama. Tidak disangka-sangka, Bubhuksah
mempersilakan dirinya untuk dimakan oleh sang harimau, karena ia merasa
iba melihat harimau yang kelaparan itu.
Kedua bersaudara itu dianggap lulus ujian, dan Bathara Guru
mengangkatnya ke surga. Bubhuksah diberi kehormatan untuk menaiki
punggung sang harimau putih dan masuk ke surga tertinggi, oleh karena
keikhlasannya berkorban demi sesama makhluk hidup. Sementara Gagang
Aking hanya boleh berpegang pada ekor sang harimau putih, dan dimasukkan
ke surga yang lebih rendah.
Kisah ini memberikan sebuah pelajaran bahwa keutamaan dalam beribadah
terletak pada keikhlasan, dan bukan pada tata cara ibadah itu sendiri.
Sri Tanjung
Relief kisah Sri Tanjung bisa ditemui pada dinding teras pendopo.
Tersebutlah seorang ksatria bernama Sidapaksa yang memiliki istri setia
yang cantik jelita bernama Sri Tanjung. Sidapaksa mengabdi kepada Raja
Sulakrama di Negeri Sindureja. Diam-diam sang raja menaruh hati kepada
Sri Tanjung yang cantik itu. Oleh karenanya ia menyusun siasat untuk
memisahkan Sri Tanjung dari suaminya demi memiliki sang pujaan hati. Ia
mengirim Sidapaksa untuk menemui para dewa di Swargaloka, dengan membawa
surat yang bertuliskan “Pembawa surat ini akan menyerang Swargaloka.”
Akibatnya Sidapaksa babak belur dipukuli oleh para dewa. Beruntung, pada
akhirnya para dewa mengetahui bahwa Sidapaksa adalah keturunan Pandawa,
sehingga ia diampuni.
Ketika Sidapaksa kembali ke kerajaan, ia mendapati bahwa istrinya
sedang berpelukan dengan Raja Sulakrama. Dengan liciknya, Raja Sulakrama
malah balik menuduh bahwa Sri Tanjunglah yang telah menggodanya untuk
berbuat zina. Karena tidak bisa meredam amarah, Sidapaksa menikam
istrinya dengan keris hingga tewas. Namun keanehan terjadi, di mana dari
luka tusukan tersebut tidak mengalir darah segar, melainkan air yang
berbau sangat harum. Sidapaksa menjadi tersadar bahwa itu adalah suatu
pertanda bahwa istrinya tidak bersalah. Dengan penuh penyesalan,
Sidapaksa menangisi dan menciumi jasad istrinya itu.
Melihat kejadian mengharukan itu Dewi Durga dari kahyangan merasa iba
kepada pasangan sejoli itu dan memutuskan untuk menghidupkan kembali
Sri Tanjung. Sidapaksa sangat berbahagia melihat istrinya hidup kembali,
dan sesudah itu memutuskan untuk menghukum Raja Sulakrama atas
kejahatannya itu. Dalam duel antara dua ksatria itu, Sidapaksa berhasil
menewaskan Raja Sulakrama. Pada akhirnya Sidapaksa dan Sri Tanjung hidup
bahagia.
Kisah ini menjadi legenda terbentuknya sebuah kota di negeri Blambangan, yaitu Banyuwangi yang artinya “air yang wangi”.
Source
Selamat malam, mohon maaf saya dari Historia.id mau minta izin salah satu foto dalam postingan ini, apakah boleh kami jadikan foto dalam artikel yang kami publish? terimakasih sebelumnya.
BalasHapus