Selasa, 16 Desember 2014

Candi Prambanan


Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan, Klaten,  kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.

Etimologi

Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna "Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama "Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan menjalankan keselarasan jagat.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sansekerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.

Sejarah Pembangunan

Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa'). Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta beliau.
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.

Diterlantarkan

Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, yang mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan mulai terlantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16. Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755, reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).

Penemuan kembali


Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan apa yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat menciptakan dongeng lokal untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini; diwarnai dengan kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh makhluk halus jin dan dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca. Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah Rara Jonggrang.
Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda. Candi ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika itu Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut, reruntuhan candi ini tetap terlantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktek penjarahan ukiran dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief candi diambil oleh warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi menggunakan batu candi untuk bahan bangunan dan pondasi rumah.

Pemugaran

Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi. Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali. Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993 .
Upaya renovasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno. Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status ini diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah direnovasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah merusak sejumlah bangunan dan patung.

Peristiwa kontemporer

Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang merebak secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di sekitar candi, dan memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks candi Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya. Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia Perusahaan milik negara, Persero PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola taman wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya. Prambanan adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak dikunjungi wisatawan dalam negeri ataupun wisatwan mancanegara.

Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung pertunjukan Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari Ramayana. Panggung terbuka Trimurti tepat terletak di seberang candi di tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang Candi Prambanan yang disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di panggung tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi adiluhung keraton Jawa yang telah berusia ratusan tahun, biasanya dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di Prambanan pada saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.
Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi pusat ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan adalah karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta berkumpul di candi Prambanan untuk menggelar upacara pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga, dan Nyepi.
Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara United States Geological Survey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter) menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat terhadap banyak bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat pada patahan tektonik Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat Prambanan. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan, khususnya Candi Brahma. Foto awal menunjukkan bahwa meskipun kompleks bangunan tetap utuh, kerusakan cukup signifikan. Pecahan batu besar, termasuk panil-panil ukiran, dan kemuncak wajra berjatuhan dan berserakan di atas tanah. Candi-candi ini sempat ditutup dari kunjungan wisatawan hingga kerusakan dan bahaya keruntuhan dapat diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang diakibatkan gempa ini. Beberapa minggu kemudian, pada tahun 2006 situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada tahun 2008, tercatat sejumlah 856.029 wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan mancanegara mengunjungi Prambanan. Pada 6 Januari 2009 pemugaran candi Nandi selesai. Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama tertutup dari kunjungan wisatawan atas alasan keamanan.

Kompleks candi

Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan terdiri dari:
  1. 3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
  2. 3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
  3. 2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi utara dan selatan
  4. 4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau zona inti
  5. 4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
  6. 224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68
Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan.
Aslinya terdapat 240 candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan. Tetapi kini hanya tersisa 18 candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi perwara. Banyak candi perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya 2 yang sudah dipugar, yang tersisa hanya tumpukan batu yang berserakan. Kompleks candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar, kedua adalah zona tengah yang terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat delapan candi utama dan delapan kuil kecil.
Penampang denah kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan terdiri atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu andesit. Zona terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing sisinya sepanjang 390 meter, dengan orientasi Timur Laut - Barat Daya. Kecuali gerbang selatan yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini sudah banyak yang hilang. Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum diketahui; kemungkinan adalah lahan taman suci, atau kompleks asrama Brahmana dan murid-muridnya. Mungkin dulu bangunan yang berdiri di halaman terluar ini terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan musnah tak tersisa.
Candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara selain Angkor Wat. Tiga candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepadantiga dewa utama Trimurti: Siwa sang Penghancur, Wisnu sang Pemelihara dan Brahma sang Pencipta. Di kompleks candi ini Siwa lebih diutamakan dan lebih dimuliakan dari dua dewa Trimurti lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan utama sekaligus yang terbesar dan tertinggi, menjulang setinggi 47 meter.

Candi Siwa

Halaman dalam adalah zona paling suci dari ketiga zona kompleks candi. Pelataran ini ditinggikan permukaannya dan berdenah bujur sangkar dikurung pagar batu dengan empat gerbang di empat penjuru mata angin. Dalam halaman berpermukaan pasir ini terdapat delapan candi utama; yaitu tiga candi utama yang disebut candi Trimurti ("tiga wujud"), dipersembahkan untuk tiga dewa Hindu tertinggi: Dewa Brahma Sang Pencipta, Wishnu Sang Pemelihara, dan Siwa Sang Pemusnah.
Candi Siwa sebagai candi utama adalah bangunan terbesar sekaligus tetinggi di kompleks candi Rara Jonggrang, berukuran tinggi 47 meter dan lebar 34 meter. Puncak mastaka atau kemuncak candi ini dimahkotai modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Bentuk wajra ini merupakan versi Hindu sandingan dari stupa yang ditemukan pada kemuncak candi Buddha. Candi Siwa dikelilingi lorong galeri yang dihiasi relief yang menceritakan kisah Ramayana; terukir di dinding dalam pada pagar langkan. Di atas pagar langkan ini dipagari jajaran kemuncak yang juga berbentuk wajra. Untuk mengikuti kisah sesuai urutannya, pengunjung harus masuk dari sisi timur, lalu melakukan pradakshina yakni berputar mengelilingi candi sesuai arah jarum jam. Kisah Ramayana ini dilanjutkan ke Candi Brahma.
Candi Siwa di tengah-tengah, memuat lima ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin dan satu garbagriha, yaitu ruangan utama dan terbesar yang terletak di tengah candi. Ruangan timur terhubung dengan ruangan utama tempat bersemayam sebuah arca Siwa Mahadewa (Perwujudan Siwa sebagai Dewa Tertinggi) setinggi tiga meter. Arca ini memiliki Lakçana (atribut atau simbol) Siwa, yaitu chandrakapala (tengkorak di atas bulan sabit), jatamakuta (mahkota keagungan), dan trinetra (mata ketiga) di dahinya. Arca ini memiliki empat lengan yang memegang atribut Siwa, seperti aksamala (tasbih), camara (rambut ekor kuda pengusir lalat), dan trisula. Arca ini mengenakan upawita (tali kasta) berbentuk ular naga (kobra). Siwa digambarkan mengenakan cawat dari kulit harimau, digambarkan dengan ukiran kepala, cakar, dan ekor harimau di pahanya. Sebagian sejarawan beranggapa bahwa arca Siwa ini merupakan perwujudan raja Balitung sebagai dewa Siwa, sebagai arca pedharmaan anumerta beliau. Sehingga ketika raja ini wafat, arwahnya dianggap bersatu kembali dengan dewa penitisnya yaitu Siwa. Arca Siwa Mahadewa ini berdiri di atas lapik bunga padma di atas landasan persegi berbentuk yoni yang pada sisi utaranya terukir ular Nāga (kobra).
Tiga ruang yang lebih kecil lainnya menyimpan arca-arca yang ukuran lebih kecil yang berkaitan dengan Siwa. Di dalam ruang selatan terdapat Resi Agastya, Ganesha putra Siwa di ruang barat, dan di ruang utara terdapat arca sakti atau istri Siwa, Durga Mahisasuramardini, menggambarkan Durga sebagai pembasmi Mahisasura, raksasa Lembu yang menyerang swargaloka. Arca Durga ini juga disebut sebagai Rara Jonggrang (dara langsing) oleh penduduk setempat. Arca ini dikaitkan dengan tokoh putri legendaris Rara Jonggrang.

Candi Brahma dan Candi Wishnu

Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, yang terletak di sisi utara dan satunya dipersembahkan kepada Brahma, yang terletak di sisi selatan. Kedua candi ini menghadap ke timur dan hanya terdapat satu ruang, yang dipersembahkan untuk dewa-dewa ini. Candi Brahma menyimpan arca Brahma dan Candi Wishnu menyimpan arca Wishnu yang berukuran tinggi hampir 3 meter. Ukuran candi Brahma dan Wishnu adalah sama, yakni lebar 20 meter dan tinggi 33 meter.

Candi Wahana


Tepat di depan candi Trimurti terdapat tiga candi yang lebih kecil daripada candi Brahma dan Wishnu yang dipersembahkan kepada kendaraan atau wahana dewa-dewa ini; sang lembu Nandi wahana Siwa, sang Angsa wahana Brahma, dan sang Garuda wahana Wisnu. Candi-candi wahana ini terletak tepat di depan dewa penunggangnya. Di depan candi Siwa terdapat candi Nandi, di dalamnya terdapat arca lembu Nandi. Pada dinding di belakang arca Nandi ini di kiri dan kanannya mengapit arca Chandra dewa bulan dan Surya dewa matahari. Chandra digambarkan berdiri di atas kereta yang ditarik 10 kuda, sedangkan Surya berdiri di atas kereta yang ditarik 7 kuda. Tepat di depan candi Brahma terdapat candi Angsa. Candi ini kosong dan tidak ada arca Angsa di dalamnya. Mungkin dulu pernah bersemayam arca Angsa sebagai kendaraan Brahma di dalamnya. Di depan candi Wishnu terdapat candi yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi sama seperti candi Angsa, di dalam candi ini tidak ditemukan arca Garuda. Mungkin dulu arca Garuda pernah ada di dalam candi ini. Hingga kini Garuda menjadi lambang penting di Indonesia, yaitu sebagai lambang negara Garuda Pancasila.

Candi Apit, Candi Kelir, dan Candi Patok

Di antara baris keenam candi-candi utama ini terdapat Candi Apit. Ukuran Candi Apit hampir sama dengan ukuran candi perwara, yaitu tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter. Disamping 8 candi utama ini terdapat candi kecil berupa kuil kecil yang mungkin fungsinya menyerupai pelinggihan dalam Pura Hindu Bali tempat meletakan canang atau sesaji, sekaligus sebagai aling-aling di depan pintu masuk. Candi-candi kecil ini yaitu; 4 Candi Kelir pada empat penjuru mata angin di muka pintu masuk, dan 4 Candi Patok di setiap sudutnya. Candi Kelir dan Candi Patok berbentuk miniatur candi tanpa tangga dengan tinggi sekitar 2 meter.

Candi Perwara

Dua dinding berdenah bujur sangkar yang mengurung dua halaman dalam, tersusun dengan orientasi sesuai empat penjuru mata angin. Dinding kedua berukuran panjang 225 meter di tiap sisinya. Di antara dua dinding ini adalah halaman kedua atau zona kedua. Zona kedua terdiri atas 224 candi perwara yang disusun dalam empat baris konsentris. Candi-candi ini dibangun di atas empat undakan teras-teras yang makin ke tengah sedikit makin tinggi. Empat baris candi-candi ini berukuran lebih kecil daripada candi utama. Candi-candi ini disebut "Candi Perwara" yaitu candi pengawal atau candi pelengkap. Candi-candi perwara disusun dalam empat baris konsentris baris terdalam terdiri atas 44 candi, baris kedua 52 candi, baris ketiga 60 candi, dan baris keempat sekaligus baris terluar terdiri atas 68 candi.
Masing-masing candi perwara ini berukuran tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter, dan jumlah keseluruhan candi perwara di halaman ini adalah 224 candi. Kesemua candi perwara ini memiliki satu tangga dan pintu masuk sesuai arah hadap utamanya, kecuali 16 candi di sudut yang memiliki dua tangga dan pintu masuk menghadap ke dua arah luar. Jika kebanyakan atap candi di halaman dalam zona inti berbentuk wajra, maka atap candi perwara berbentuk ratna yang melambangkan permata.
Aslinya ada banyak candi yang ada di halaman ini, akan tetapi hanya sedikit yang telah dipugar. Bentuk candi perwara ini dirancang seragam. Sejarawan menduga bahwa candi-candi ini dibiayai dan dibangun oleh penguasa daerah sebagai tanda bakti dan persembahan bagi raja. Sementara ada pendapat yang mengaitkan empat baris candi perwara melambangkan empat kasta, dan hanya orang-orang anggota kasta itu yang boleh memasuki dan beribadah di dalamnya; baris paling dalam hanya oleh dimasuki kasta Brahmana, berikutnya hingga baris terluar adalah barisan candi untuk Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Sementara pihak lain menganggap tidak ada kaitannya antara candi perwara dan empat kasta. Barisan candi perwara kemungkinan dipakai untuk beribadah, atau tempat bertapa (meditasi) bagi pendeta dan umatnya.

Arsitektur


Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan kitab Wastu Sastra. Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti model alam semesta menurut konsep kosmologi Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.
Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan zona candi, mulai dari yang kurang suci hingga ke zona yang paling suci. Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu ini memiliki sandingannya dalam konsep Buddha yang pada hakikatnya hampir sama. Baik lahan denah secara horisontal maupun vertikal terbagi atas tiga zona:
  • Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana; manusia, hewan, juga makhluk halus dan iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn hawa nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi melambangkan ranah bhurloka.
  • Bhuwarloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi, pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran. Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bhuwarloka.
  • Swarloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci tempat para dewa bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan atap candi melambangkan ranah swarloka. Atap candi-candi di kompleks Prambanan dihiasi dengan kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna Prambanan merupakan modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang berfungsi sebagai kemuncak atau mastaka candi.
Pada saat pemugaran, tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75 meter dan peti batu pripih ini ditemukan diatas timbunan arang kayu, tanah, dan tulang belulang hewan korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci seperti lembaran emas dengan aksara bertuliskan Waruna (dewa laut) dan Parwata (dewa gunung). Dalam peti batu ini terdapat lembaran tembaga bercampur arang, abu, dan tanah, 20 keping uang kuno, beberapa butir permata, kaca, potongan emas, dan lembaran perak, cangkang kerang, dan 12 lembaran emas (5 diantaranya berbentuk kura-kura, ular naga (kobra), padma, altar, dan telur).

Relief

Ramayana dan Krishnayana

Candi ini dihiasi relief naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana. Relif berkisah ini diukirkan pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong galeri yang mengelilingi tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan searah jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina, yaitu ritual mengelilingi bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Kisah Ramayana bermula di sisi timur candi Siwa dan dilanjutkan ke candi Brahma temple. Pada pagar langkan candi Wisnu terdapat relief naratif Krishnayana yang menceritakan kehidupan Krishna sebagai salah satu awatara Wishnu.
Relief Ramayana menggambarkan bagaimana Shinta, istri Rama, diculik oleh Rahwana. Panglima bangsa wanara (kera), Hanuman, datang ke Alengka untuk membantu Rama mencari Shinta. Kisah ini juga ditampilkan dalam Sendratari Ramayana, yaitu pagelaran wayang orang Jawa yang dipentaskan secara rutin di panggung terbuka Trimurti setiap malam bulan purnama. Latar belakang panggung Trimurti adalah pemandangan megah tiga candi utama yang disinari cahaya lampu.

Lokapala, Brahmana, dan Dewata

Di seberang panel naratif relief, di atas tembok tubuh candi di sepanjang galeri dihiasi arca-arca dan relief yang menggambarkan para dewata dan resi brahmana. Arca dewa-dewa lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di candi Siwa. Sementara arca para brahmana penyusun kitab Weda terdapat di candi Brahma. Di candi Wishnu terdapat arca dewata yang diapit oleh dua apsara atau bidadari kahyangan.

Panil Prambanan: Singa dan Kalpataru

Di dinding luar sebelah bawah candi dihiasi oleh barisan relung (ceruk) yang menyimpan arca singa diapit oleh dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini dalam mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan manusia. Di kaki pohon Kalpataru ini diapit oleh pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib bertubuh burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya, seperti burung, kijang, domba, monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Pola singa diapit kalpataru adalah pola khas yang hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut "Panil Prambanan".

Museum Prambanan

Di dalam kompleks taman purbakala candi Prambanan terdapat sebuah museum yang menyimpan berbagai temuan benda bersejarah purbakala. Museum ini terletak di sisi utara Candi Prambanan, antara candi Prambanan dan candi Lumbung. Museum ini dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa, berupa rumah joglo. Koleksi yang tersimpan di museum ini adalah berbagai batu-batu candi dan berbagai arca yang ditemukan di sekitar lokasi candi Prambanan; misalnya arca lembu Nandi, resi Agastya, Siwa, Wishnu, Garuda, dan arca Durga Mahisasuramardini, termasuk pula batu Lingga Siwa, sebagai lambang kesuburan.
Replika harta karun emas temuan Wonoboyo yang terkenal itu, berupa mangkuk berukir Ramayana, gayung, tas, uang, dan perhiasan emas, juga dipamekan di museum ini. Temuan Wonoboyo yang asli kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Replika model arsitektur beberapa candi seperti Prambanan, Borobudur, dan Plaosan juga dipamerkan di museum ini. Museum ini dapat dimasuki secara gratis oleh pengunjung taman purbakala Prambanan karena tiket masuk taman wisata sudah termasuk museum ini. Pertunjukan audio visual mengenai candi Prambanan juga ditampilkan disini.

Candi lain di sekitar Prambanan


Dataran Kewu atau dataran Prambanan adalah dataran subur yang membentang antara lereng selatan kaki gunung Merapi di utara dan jajaran pegunungan kapur Sewu di selatan, dekat perbatasan Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. Selain candi Prambanan, lembah dan dataran di sekitar Prambanan kaya akan peninggalan arkeologi candi-candi Buddha paling awal dalam sejarah Indonesia, serta candi-candi Hindu. Candi Prambanan dikelilingi candi-candi Buddha. Masih di dalam kompleks taman wisata purbakala, tak jauh di sebelah utara candi Prambanan terdapat reruntuhan candi Lumbung dan candi Bubrah. Lebih ke utara lagi terdapat candi Sewu, candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Lebih jauh ke timur terdapat candi Plaosan. Di arah barat Prambanan terdapat candi Kalasan dan candi Sari. Sementara di arah selatan terdapat candi Sojiwan, Situs Ratu Baka yang terletak di atas perbukitan, serta candi Banyunibo, candi Barong, dan candi Ijo.
Dengan ditemukannya begitu banyak peninggalan bersejarah berupa candi-candi yang hanya berjarak beberapa ratus meter satu sama lain, menunjukkan bahwa kawasan di sekitar Prambanan pada zaman dahulu kala adalah kawasan penting. Kawasan yang memiliki nilai penting baik dalam hal keagamaan, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Diduga pusat kerajaan Medang Mataram terletak disuatu tempat di dataran ini. Kekayaan situs arkeologi, serta kecanggihan dan keindahan candi-candinya menjadikan Dataran Prambanan tak kalah dengan kawasan bersejarah terkenal lainnya di Asia Tenggara, seperti situs arkeologi kota purbakala Angkor, Bagan, dan Ayutthaya.

 


 


 ENGLISH

Prambanan Temple or Temple of Loro Jonggrang is the largest Hindu temple complex in Indonesia, which was built in the 9th century BC. This temple is dedicated to Trimurti, the three main Hindu gods Brahma as the creator god, the god Vishnu as preserver, and Shiva as the god of destruction. Based Shivagrha inscription original name of this temple complex is Siwagrha (Sanskrit which means 'House of Shiva'), and indeed in garbagriha (main hall) of the temple sits a statue of Shiva Mahadeva three meters high which shows that in this temple of Lord Shiva is preferred.

The temple complex is located in the district of Prambanan Prambanan sub-district of Sleman and Klaten, approximately 17 kilometers northeast of Yogyakarta, 50 kilometers southwest of Surakarta and 120 kilometers south of Semarang, exactly on the border between Central Java and Yogyakarta. It is very unique, Prambanan temple is located in the administrative area Bokoharjo village, Prambanan, Sleman, while the entrance of the Prambanan temple complex located in the administrative region Tlogo village, Prambanan, Klaten.

This temple is including the UNESCO World Heritage Site, the largest Hindu temple in Indonesia, and one of the most beautiful temples in Southeast Asia. The architecture of the building is tall and slender shaped according to the Hindu architecture in general with the Shiva temple as the main temple has a height of up to 47 meters in the center of the complex cluster of towering temples smaller. As one of the grandest temples in Southeast Asia, Prambanan temple to attract tourists from all over the world visit.

According Shivagrha inscription, this temple was built around the year 850 AD by Rakai Pikatan, and continue to be developed and expanded by Balitung Maha Sambu, in the kingdom of Mataram Medang.


etymology

Prambanan name, derived from the name of the village where the temple stands, believed to be the change of the name of the Java language dialect of the Brahman Hindu theology term meaning "the Supreme Brahman" is Brahman or the highest and greatest eternal reality that can not be described, which is often equated with the concept of God in Hinduism. Another opinion considers the Brahman may refer to the heyday of this temple which formerly filled by the brahmins. Another opinion put forward the notion that the name "Prambanan" comes from the root word in Javanese mban bear or bear meaningful tasks, refer to the Hindu gods that the task of organizing and running the harmony of the universe.

The original name of this Hindu temple complex is the name of Sanskrit; Siwagrha (House of Shiva) or Siwalaya (Natural Shiva), based Shivagrha inscription which bertarikh 778 Saka (856 AD). Trimurti glorified in this temple complex with three main temples glorified Brahma, Shiva, and Vishnu. But Shiva Mahadeva who occupy the main hall in the temple god Shiva is most glorified in this temple complex.


Development History

Prambanan is the largest Hindu temple and grandest ever built in ancient Java, the construction of a Hindu temple empire started by Rakai Pikatan as opposed to a Buddhist temple of Borobudur and Sewu temple which is located not far from Prambanan. Some historians long suspected that the construction of the great Hindu temple to mark the family's return to power Sanjaya on Java, it is related to different theories twin dynasty competing beliefs; namely the Sanjaya dynasty Hindu and Buddhist Sailendra dynasty. Surely, with the construction of this temple marks that Hinduism Saiwa flow back the support of the royal family, after the Sailendra dynasty tend to be more supportive of Buddha Mahayana. This indicates that the kingdom Medang switch focus their religious support, from Buddhist Mahayana to the cult of Shiva.

The building was first built around 850 AD by Rakai Pikatan and continuously refined and expanded by King Lokapala and Balitung king Maha Sambu. Based Shivagrha inscription to the year 856 AD, the sacred building was built to honor the god Shiva, and the building's original name in Sanskrit is Siwagrha (Sanskrit: Shiva-grha which means: 'House of Shiva') or Siwalaya (Sanskrit: Shiva-laya which means: 'Realm of Shiva' or 'Natural Shiva'). In this inscription noted that while the construction of the temple Siwagrha ongoing, carried out also public works to move the change of water flow in the river near this temple. River in question is Opaque river that flows from north to south along the west side of the temple complex of Prambanan. Historians suspect that the original flow of the river was turned curved eastward, and was considered too close to the temple so that the erosion of the river can harm the temple construction. Waterworks project is done by creating a new river that cuts spatula curved river with the north-south axis along the western wall outside the temple complex. Used original stream then backfilled to provide a broader area for development perwara row (temple or temple guards escort).

Some archaeologists believe that Shiva statue in garbhagriha (main hall) in the temple of Shiva as the main temple is a statue of the king Balitung embodiment, as his posthumous statue pedharmaan.

This building complex periodically continue to be refined by the kings of Mataram Medang next, like a king Daksha and Tulodong, and expanded by building hundreds of additional temples around the main temple. Because the splendor of this temple, Prambanan temple serves as a grand temple Mataram Kingdom, where a main important royal ceremonies. At the height of its glory, historians suspect that hundreds brahmin priest and his disciples gathered and inhabit the outer court of the temple to study the Vedas and perform various Hindu rituals and ceremonies. While the center of the palace of the kingdom of Mataram kingdom or supposedly located somewhere near Prambanan in Kewu Plain.


neglected

Around the 930s, the capital of the kingdom moved to East Java by MPU Sindok, who founded Isyana dynasty. Causes move the center of power is not known for certain. But very likely caused by the great eruption of Mount Merapi, which rises about 20 kilometers north of the temple of Prambanan. Other possible causes are wars and power struggles. After the transfer of the capital, Prambanan temple began neglected and abandoned, so this temple slowly begin to deteriorate and crumble.

The temple building is thought to actually collapsed due to severe earthquakes in the 16th century. Although no longer a religious center and worship of Hindus, the temple was still recognizable and known by the people who inhabit Java surrounding villages. The temples and statues of Durga in the main building of this temple Javanese folk tales that inspired the legend Rara Jonggrang. After the split of the Sultanate of Mataram in 1755, the ruins of the temple and the nearby river Opaque be a sign of a barrier between the Sultanate of Yogyakarta and Surakarta (Solo).


recovery



Local residents Java citizens around the temple was aware of this temple. But they do not know the real historical background, who is the king and the royal what has built this monument. As a result of imagination, local people creating local fairy tales to explain the origin of the existence of these temples; tinged with a fantastic story about a giant king, thousands of temples built by the jinn and Evils spirits in just one night, as well as the beautiful princess who was cursed into a statue. Legend of Prambanan temple is known as Rara Jonggrang story.

In 1733, the temple was discovered by the CA. Lons a Dutch nationality. The temple attracted worldwide attention when the British occupation on Java. When it Colin Mackenzie, a subordinate surveyor Sir Thomas Stamford Raffles, find this temple. Although Sir Thomas then ordered further investigation, the ruins of this temple remained abandoned until decades. No serious excavations conducted during the 1880s that unfortunately even enrich the practice of looting temples and stone carvings. Then in 1855 Jan Willem IJzerman start cleaning and moving some rocks and soil from the temple. Moments later Isaac Groneman massive demolition and the temple stones stacked haphazardly along the Opaque. Statues and reliefs were taken by a Dutch citizen and used as garden ornaments, while the indigenous people of the temple stones for building materials and house foundation.


restoration

The restoration began in 1918, but the real serious efforts began in the 1930s. In 1902-1903, Theodoor van Erp keep parts that are prone to collapse. In the years 1918-1926, followed by the Bureau of Antiquities (Oudheidkundige Dienst) under PJ Perquin more systematic manner according to the rules of archeology. As known predecessors did removal and demolition of thousands of stones at random without thinking of any restoration effort back. In 1926 De Haan continued until his death in 1930. In 1931 he was replaced by Ir. V.R. van Romondt up in 1942 and later handed over the leadership of the renovation was the son of Indonesia and it continued until 1993.

Continuous renovation efforts carried out even today. The restoration of the temple of Shiva is the main temple complex was completed in 1953 and inaugurated by the first President of the Republic of Indonesia Sukarno. Many parts of the temple was renovated, using a new stone, because many original stones were stolen or reused elsewhere. A temple will be renovated only when at least 75% original stone is still there. Therefore, many small temples are not rebuilt and just looked foundations alone.

Today, the temple was included in the World Heritage protected by UNESCO, it was given the status of UNESCO in 1991. Today, some of the temples of Prambanan being renovated to repair damage caused by the earthquake in Yogyakarta, 2006. This earthquake had damaged several buildings and statues.


contemporary events
In the early 1990s the government move the markets and villages spread wildly around the temple, displacing the villages and rice fields in the area around the temple, and restore it into archaeological park. The archaeological park covers a wide area along the highway Yogyakarta-Solo on its south side, covering the whole complex of Prambanan, including Candi Lumbung, Temple Bubrah, and Sewu in the north. In 1992 the Government of Indonesia state-owned company, Limited PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan and Ratu Boko. This business entity in charge of managing archaeological tourist park in Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, as well as the surrounding area. Prambanan is one of the famous tourist attraction in Indonesia visited by many tourists in domestic or foreign tourists.

Just across the river Opaque complex built Trimurti stage and theater performances are regularly held Ramayana. Open stage Trimurti located right across from the temple on the west bank of the river Opaque with background highlighted Prambanan light. Open stage is only used during the dry season, while in the rainy season, the show moved in a closed stage. Javanese Wayang Orang Ramayana dance is valuable tradition of Javanese palace centuries old, are usually performed in the palace and was shown at Prambanan during the full moon since the 1960s. Since then Prambanan has become a tourist attraction and ancient culture in Indonesia.

After a massive restoration in the 1990s, Prambanan also back into the center of Hindu worship in Java. The revival of religious values Prambanan is because there are quite a lot of Hindu society, both immigrants from Bali or citizens returning Hindu-Javanese living in Yogyakarta, Klaten and surrounding areas. Each year Hindus from Central Java and Yogyakarta provinces gathered at Prambanan temple to hold the ceremony on the holy day of Galungan, Tawur Kesanga, and Nyepi.

On May 27, 2006 an earthquake of 5.9 on the Richter scale (while the United States Geological Survey reported a magnitude of 6.2 on the Richter scale) hit Bantul and surrounding areas. The earthquake caused severe damage to many buildings and mortality in the population around. The quake was centered on the fracture tectonic faults Opaque appropriate Opaque river valley near Prambanan. One of the buildings were severely damaged Prambanan temple complex, especially Brahma Temple. Early photographs show that despite the complex of buildings remain intact, the damage is significant. Large rock fragments, including panel-carved panels, and waterless Vajra fell and scattered on the ground. These temples were closed from tourist visits to the damage and danger of collapse can be taken into account. Yogyakarta Archaeological Hall stated that it would take many months to determine the extent of the damage caused by this earthquake. A few weeks later, in 2006, the site was re-opened for tourist visits. In 2008, the carrying amount of 856 029 114 951 tourists Indonesia and tourists visiting Prambanan. On January 6, 2009 Nandi temple restoration is complete. In 2009, the space inside the main temple is closed from the tourist traffic for security reasons.


The temple complex

The entrance to this building complex located at the four corners of the wind direction, but the direction toward this building is to the east, the main entrance of this temple is the eastern gate. Prambanan temple complex consists of:

     3 Trimurti temple: the temple of Shiva, Vishnu, and Brahma
     3 Temple Forum: Nandi temple, Garuda, and Geese
     2 Temple Apit: located between rows of temples and temples Trinity rides on the north side and the south
     4 Temple Kelir: located in four directions of the compass just inside the entrance to the inner courtyard or the core zone
     4 Temple Stakes: located in the 4 corners of the pages or the core zone
     224 ancillary temples: 4 rows are arranged in concentric with the number of temples from the innermost to the outermost row: 44, 52, 60, and 68

So there are a total of 240 temples in the complex of Prambanan.

Originally there were 240 large and small temples at Prambanan temple complex. But now only 18 temples; The main temple is 8 and 8 small temple in the core zone and two ancillary temples. Many ancillary temples have not been restored, of 224 perwara only 2 that have been restored, leaving only a pile of stones scattered about. Prambanan temple complex consists of three zones; The first is the outer zone, the central zone is composed of hundreds of temples, the third is in a zone which is the zone of the main temple is the holiest place eight and eight small temples.

Prambanan temple complex cross section of the plan is based on the square yan land consists of three sections or zones, each page of this zone is restricted andesite stone wall. The outer zone is marked by a fence square each side along the 390 meters, with the orientation of the Northeast - Southwestern. Unless the remaining southern gate, another gate and wall sections of this temple has many missing. The function of the outside of this page is not known; possibility is sacred park land, or dormitory complex Brahmin and his disciples. Perhaps the first building that stood in the outer courtyard is made of wood, so it is obsolete and no remaining destroyed.

Prambanan temple is one of the largest Hindu temple in Southeast Asia in addition to Angkor Wat. Three main temple called the Trine and Trine dedicated kepadantiga main gods: Shiva the Destroyer, Vishnu the Preserver and Brahma the Creator. Shiva in this temple complex is preferred and more exalted than the other two gods Trimurti. Shiva temple as well as the main building of the largest and highest, 47 meters tall.


Shiva temple

Pages in the zone is the most sacred temple complex of the three zones. The court of elevated surface and confined berdenah square stone fence with four gates in the four directions of the compass. In this sand berpermukaan page there are eight main temple; namely the three main temple called Trimurti temple ("three states"), dedicated to the three supreme Hindu gods: Brahma the Creator, Vishnu the Preserver, and Shiva the Destroyer.

Shiva temple as the main temple is the largest building in the temple complex at once centipede Rara Jonggrang, measuring 47 meters high and 34 meters wide. Mastaka peak or peak temple is crowned modified diamond shape symbolizes Vajra or thunderbolt. This is a form of Vajra sandingan Hindu version of waterless stupas found in Buddhist temples. Shiva temple surrounded by a gallery hallway decorated with which tells the story of the Ramayana; engraved on a wall inside the balustrade. At the top of the balustrade is fenced ranks are also shaped pinnacles Vajra. To follow the story in this order, visitors must enter from the east side, then do pradakshina which revolves around the temple according clockwise. The Ramayana story continued to Brahma temple.

Shiva temple in the middle, contains five rooms, one room in each direction of the wind and the garbagriha, the main and largest room is located in the center of the temple. Eastern room connected to the main room where dwells a statue of Shiva Mahadeva (Shiva as the Supreme Deity embodiment) as high as three meters. This statue has Lakçana (attribute or symbol) of Shiva, which chandrakapala (skull above the crescent), jatamakuta (crown majesty), and Trinetra (third eye) on his forehead. This statue has four arms that hold the attributes of Shiva, as aksamala (rosary), camara (horse tail hair fly repellent), and trident. This statue wearing upawita (rope caste) in the form of a serpent (cobra). Shiva depicted wearing a loincloth of a tiger skin, depicted with carved head, paws, and tail of a tiger on his thighs. Most historians beranggapa that this is a manifestation of Shiva statue Balitung king as god Shiva, as his posthumous statue pedharmaan. So when the king's death, his soul is considered reunited with god penitisnya namely Shiva. Mahadeva Shiva statue stands on a lotus pedestal atop a square foundation yoni-shaped engraved on its northern side of the serpent (cobra).

Three other smaller space saving statues smaller size associated with Shiva. In the southern area there Rishi Agastya, Ganesha son of Shiva in the west, and in the north there is a statue sacred or Shiva's wife, Durga Mahisasuramardini, depicts Durga as repellent Mahisasura, giant ox attacking Swargaloka. Durga is also referred to as Rara Jonggrang (slender virgin) by the locals. This image is associated with the legendary figure Rara Jonggrang daughter.
Candi Brahma and Vishnu Temple

Two other temples dedicated to Lord Vishnu, which is located on the north side and the other dedicated to Brahma, which is located on the south side. The second temple faces east and only one room, which is dedicated to the gods. Brahma temple statues of Brahma and Vishnu temple statues of Vishnu, measuring almost 3 meters high. Brahma and Vishnu temple size is the same, which is 20 meters wide and 33 meters high.
temple Forum

Right in front of the temple there are three temples Trimurti smaller than Brahma and Vishnu temples dedicated to the vehicle or the vehicle's gods; Shiva rides the bull Nandi, the vehicle Goose Brahma, Vishnu and the Garuda vehicle. The temples of this vehicle is located right in front of god rider. In front of the Shiva temple there Nandi temple, in which there is a statue of Nandi bull. On the wall behind the statue of Nandi is on the left and right flanking the statue of the moon god Chandra and Surya the sun god. Chandra is depicted standing on 10 horse-drawn carriages, while Surya standing on a horse-drawn carriage 7. Right in front of the temple there is a temple of Brahma Geese. This temple is empty and there is no swan statue in it. Maybe once residing Goose as vehicle of Brahma statue in it. In front of the temple there is a Vishnu temple dedicated to Garuda, but the same as goose temple, in this temple not found the statue of Garuda. Probably the first statue of Garuda ever existed in this temple. Until now Garuda became an important symbol in Indonesia, namely as the state emblem of Garuda Pancasila.
Temple Apit, Kelir Temple, and Temple Stakes

In the sixth line of the main temples there are Apit temple. Apit temple is almost the same size with the size of the ancillary temples, which is 14 meters high with a footprint plan 6 x 6 meters. Besides the 8 main temple there are small temple in the form of a small temple which probably functions like pelinggihan in Bali Hindu temple cymbals or a place to put the offerings, as well as the facade in front of the entrance. This small temples namely; 4 Temple Kelir on the four corners of the wind in front of the entrance, and 4 Temple Stakes at each corner. Kelir Temple and Temple Stakes without a ladder-shaped miniature temple with a height of about 2 meters.
ancillary temples

Two walls that confine berdenah square in two pages, arranged in accordance with the orientation of the four winds. The second wall of a length of 225 meters on each side. In between these two walls is the second page or second zone. The second zone consists of 224 ancillary temples arranged in four concentric rows. Temples are built on the four steps of the terraces are more into the middle bit higher. Four lines of the temples are smaller than the main temple. The temples are called "ancillary temples" that temple or temple guards complementary. Ancillary temples arranged in four rows of concentric inner line consists of 44 temples, 52 temples second row, third row 60 temples, and the fourth line at the same time the outer row consists of 68 temples.

Each ancillary temples, measuring 14 meters high with a footprint plan 6 x 6 meters, and the total number of ancillary temples on this page is 224 temples. All of these ancillary temples have one staircase and entrance in the direction toward the main, except 16 temples in the corner which has two staircases and two entrances facing outwards. If most of the roof of the temple in the core zone of the page in the form of Vajra, the roof of the temple symbolizing Charles ancillary shaped gems.

Originally there were many temples in these pages, but only a few have been restored. Perwara shape is designed uniforms. Historians suspect that the temples are financed and built by local authorities as a sign of devotion and dedication to the king. While there is an argument that links perwara four lines represent the four castes, and the only people that caste members are allowed to enter and worship in it; row entered into only by the Brahmins, next to the outermost row is row temple to kshatriya, Vaishya and Sudra. While others assume there is no relation between perwara and four castes. Rows perwara possibility used for worship, or a place for meditation (meditation) for the pastor and his flock.
architecture

Prambanan temple architecture guided by the tradition of Hindu architecture that is based on the book Wastu Literature. Plan megikuti temple mandala pattern, while the form of a towering temple is the hallmark of a Hindu temple. Prambanan real name Siwagrha and designed to resemble the home of Shiva, which follows the shape of the sacred mountain Mahameru, where the gods dwell. All parts of the temple complex follows the model of the universe according to Hindu cosmology concept, which is divided into several layers realm, natural or Loka.

Such as Borobudur, Prambanan temple also has a zone levels, ranging from the less sacred to the most sacred zone. Despite the different names, each Hindu concept has sandingannya the Buddhist concept that is essentially about the same. Neither land layout horizontally or vertically divided into three zones:

     Bhurloka (in Buddhism: Kamadhatu), is the lowest realm of mortals; humans, animals, also spirits and demons. In this realm of humans still bound with less lust, passion, and a way of life that is not holy. Terlar page and foot of the temple symbolizes the realm bhurloka.
     Bhuwarloka (in Buddhism: Rupadhatu), is a natural tegah, where saints, sages, ascetics, and petty gods. In human nature began to see the light of truth. The central courtyard and the body of the temple symbolizes the realm bhuwarloka.
     Swarloka (in Buddhism: Arupadhatu), is the realm trtinggi well as the holiest place of the gods dwell, also called Swargaloka. Inner courtyard and roof of the temple symbolizes the realm swarloka. Roof of the temples at Prambanan complex decorated with waterless mastaka be ratna (Sanskrit: gem), Prambanan is a modified form of Ratna Vajra symbolizes diamond shape or lightning. In ancient Javanese Hindu architecture, Charles is sandingan Hindu to Buddhist stupa, which serves as waterless or mastaka temple.

At the time of restoration, just below the statue of Shiva under the main room there is a Shiva temple didasarnya wells are pripih (stone box). The 5.75-meter-deep wells and stone coffin was found above pripih pile of wood charcoal, soil, and the bones of sacrificial animals. Within this pripih are sacred objects such as gold sheet with the script reads Waruna (god of the sea) and Parwata (mountain god). In this stone coffin contained copper sheet mixed charcoal, ash, and soil, 20 ancient coins, a few grains of gems, glass, pieces of gold, and silver sheet, mussel shells, and 12 sheets of gold (5 of them in the form of a turtle, snake dragon (cobra), lotus, altar, and eggs).


Relief
Ramayana and Krishnayana

The temple is decorated with a narrative that tells the Hindu epics; Ramayana and Krishnayana. This revolves around a series of reliefs carved into the wall next to the balustrade along the hallway gallery surrounding the three main temples. Relief is read from right to left with a clockwise motion around the temple. This is in accordance with the ritual circumambulation, the rituals surrounding the sacred building clockwise by pilgrims. Ramayana story begins on the east side of the temple of Shiva and proceed to the temple of Brahma temple. On the balustrade of Vishnu temple there is a relief Krishnayana narrative that tells the life of Krishna as one Awatara Vishnu.

Relief Ramayana illustrates how Shinta, wife of Rama, was abducted by Ravana. Commander nation Wanara (ape), Hanuman, came to Alengka to help Rama search for Shinta. This story is also featured in the Ramayana, the Javanese puppet show performed routinely in the open stage Trimurti every full moon night. Trimurti stage background is a magnificent view of the three main temples are illuminated by light.


Lokapala, Brahmins, and the Gods

Across the narrative relief panels on the wall of the temple in the whole gallery is decorated statues and reliefs depicting the gods and sages brahmin. Lokapala statues of gods, the god of winds heavenly guards can be found in the temple of Shiva. While the statue brahmins authors Vedas are in the temple of Brahma. In the temple there are statues of the gods Vishnu flanked by two apsaras or celestial nymphs.


Panel Prambanan: Lion and Kalpataru

On the outer wall of the bottom of the temple is decorated by a row of niches (niche) that holds the lion statue flanked by two panels depicting the tree of life Kalpataru. This sacred tree in the Hindu-Buddhist mythology considered trees that can meet the expectations and needs of human beings. At the foot of Kalpataru tree is flanked by a pair Kinnara-kinnari (magical animal bodied human-headed bird), or a couple of other animals, such as birds, deer, sheep, monkeys, horses, elephants, and others. Pattern lion flanked Kalpataru is the typical pattern found only in Prambanan, because that's called "Panel Prambanan".
Museum Prambanan

In the Prambanan temple complex archaeological park there is a museum that holds a variety of historical objects of archaeological findings. The museum is located on the north side of Prambanan Temple, the temple and the temple Prambanan barn. The museum is built in traditional Javanese architecture, such joglo. Stored in museum collections are various stones temples and various statues were found in the vicinity of Prambanan temple; eg Nandi bull statue, sage Agastya, Shiva, Vishnu, Garuda, and Durga Mahisasuramardini, including the Shiva Linga stone, as a symbol of fertility.

Replica gold treasure famous Wonoboyo findings, such as the Ramayana carved bowl, scoop, bag, money, and gold jewelry, also dipamekan in this museum. The findings of the original Wonoboyo now kept in the National Museum of Indonesia in Jakarta. Replicas of some architectural models such as the Prambanan temple, Borobudur, and Plaosan also exhibited in this museum. The museum is accessible for free by Prambanan archaeological park visitors as tourist park admission ticket includes the museum. Audio-visual performances of Prambanan temple is also shown here.


Other temples around Prambanan

Kewu Plain or Prambanan plains are fertile plain that stretches between the southern slopes of the foot of Mount Merapi in the north and the limestone mountain range in southern Sewu, near the border of Yogyakarta and Klaten, Central Java. In addition to Prambanan temple, valleys and plains around Prambanan rich archaeological heritage Buddhist temples of the earliest in the history of Indonesia, as well as Hindu temples. Prambanan temple surrounded Buddhist temples. Still in the ancient tourist park complex, not far north there are the ruins of the temple of Prambanan temple and temple Bubrah barns. More to the north again there Sewu temple, the second largest Buddhist temple after Borobudur. Further to the east there is a temple Plaosan. In the west there is a temple Prambanan temple Kalasan and Sari. While in the south there is a temple Sojiwan, Ratu Boko located in the hills, as well as Banyunibo temple, temple Barong, and Ijo temple.

With the discovery of so many historical relics such as temples were only a few hundred meters of each other, indicating that the area around Prambanan in ancient times is an important area. Regions that have significant value both in terms of religion, politics, economics, and culture. Allegedly center Medang Mataram kingdom located somewhere on the plains. Wealth of archaeological sites, as well as the sophistication and beauty of the temples of Prambanan temple is made plain not least with other famous historical district in Southeast Asia, such as the archaeological site of ancient city of Angkor, Bagan, and Ayutthaya.


 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar